Pola
 pertanian organik semakin mendominasi wacana bidang pertanian dewasa 
ini. Praktek pertanian yang pada dasarnya tidak jauh beda dengan model 
pertanian tradisional warisan nenek moyang kita, namun sudah puluhan 
tahun banyak ditinggalkan petani karena kehadiran revolusi hijau, kini 
semakin populer, diakui potensinya, dan dianjurkan oleh banyak kalangan.
 Pengakuan dan anjuran tersebut didasari dengan beberapa pertimbangan, 
mulai dari aspek nilai tambah secara ekonomi, aspek kualitas bahan 
konsumsi untuk kesehatan jangka panjang tubuh manusia, aspek 
penyelamatan dan kelestarian lingkungan (environmentally friendly and farming sustainability), hingga aspek ideologis yang oleh banyak kalangan ingin diperjuangkan. 
Keunggulan
 nilai tambah ekonomi tersebut, atau harga premiun yang menjanjikan 
petani, tentu saja bisa dikembangkan menjadi alternatif jalan untuk 
mendongkrak penghidupan petani kecil. Harapanya, peluang tersebut bisa 
menjadi cara tambahan untuk membantu mengetaskan petani kecil dari 
belenggu kemiskinan. Namun demikian, untuk mengajak atau mendorong 
mereka beralih ke pertanian cara organik, tidaklah semudah yang kita 
bayangkan. Ada beberapa kendala atau tantangan serius yang bisa kita 
ketengahkan dalam tulisan ini. 
Pertama, adanya mitos bahwa pertanian organik sulit dilakukan, rumit juga syarat tehnologi baru, dan memerlukan banyak resources
 dalam pelaksanaannya. Seperti penuturan Sutarman, Kaur Perencanaan Desa
 Giritirto, Kec. Purwosari, Kab. Gunungkidul, yang pernah mencoba 
mengaplikasikan sistem pertanian organik lahan basah di persawahannya. 
Kedua,
 diperlukannya masa transisi yang relatif lama (sekitar 2-3 tahun) yang 
harus dilewati para petani ketika mulai beralih ke aplikasi pola 
pertanian organik. Pada fase transisi ini petani biasanya akan mengalami
 kerugian  (D. Geovannucci, 2007). Hasil 
pertaniannya cenderung menurun drastis dibandingkan dengan pola 
pertanian konvensional. Seperti juga pengakuan Pak Muryanto,
 kepala Dukuh Glagah, Desa Nglegi, Kec. Patuk Kab. Gunungkidul, yang 
sejauh ini telah menekuni pertanian organik, bahwa pada awalnya dia 
menderita kerugian, karena hasil panen sawahnya langsung ‘njeglek’
 (merosot tajam-red) bila dibandingkan panen sebelumnya ketika masih 
menggunakan sistem konvensional. Beliau menjelaskan bahwa pada masa 
transisi tersebut, kesuburan tanah masih belum pulih, sebagai dampak 
dari penggunaan pupuk kimiawi yang telah berlangsung puluhan tahun. 
Ketiga, adanya kendala pemasaran produk organik, karena produk organik masih berharga mahal (premium),
 sehingga memiliki segmen pasar khusus, dan jaringannya masih dikuasai 
oleh pelaku bisnis bermodal besar, sehingga para petani kecil merasa 
kesulitan untuk mendapatkan akses pasar yang luas. Ini tidak jauh 
berbeda dengan apa yang diungkapkan Pak Putut, seorang petani pemula 
yang sendang merintis pertanian organik untuk sayur-sayuran dan 
buah-buahan berusia pendek seperti lombok, tomat, timun, melon, dan 
semangka, yang mengelola lahan persawahan di leren Timur Gunung Lawu, 
Jawa Timur. 
Belum
 lagi, produk-produk pertanian organik seringkali penampilan fisiknya 
juga tidak sebagus produk-produk non-organik. Tidak digunakannya pupuk 
dan pestisida kimiawi seringkali membuat tampilan tanaman organik 
terkesan kurang sehat atau tidak se-subur yang non-organik, dan juga 
rentan terhadap serangan hama, sehingga terkadang ‘wajahnya’ bopeng dan 
ada cacatnya. Nah, penampilan yang kalah ‘kinclong’ seperti itu juga 
sering menjadi kendala pemasaran produk pertanian organik. 
Keempat, belum adanya dukungan yang lebih nyata dan meluas dari pemerintah. Terutama dalam bentuk kampanye yang massive
 dan terus-menerus perihal pertanian organik, mulai dari pentingnya 
beralih ke makanan organik bagi masyarakat hingga bagaimana cara 
mengelola pertanian dan industri produk pertanian organik. Selain itu, 
pemerintah juga perlu memberikan akses informasi tentang potensi dan 
peta pasar, fasilitasi untuk promosi dan pameran, serta fasilitasi 
lahirnya kelembagaan pelaku pertanian organik, dan pelatihan-pelatian 
yang intensif bagi masyarakat bawah (petani kecil). 
Perihal
 kelembagaan, petani kita sebenarnya telah paham dan memiliki cukup 
banyak variasi organisasi yang berbasis pertanian yang tersebar di 
seluruh Indonesia. Namun demikian, kapasitas mereka tetap perlu 
didongkrak dan dibangun kembali, dilengkapi dengan pengetahuan atau 
tehnologi baru, melalui bermacan training yang biayanya sepenuhnya 
ditanggung oleh anggaran pemerintah.  Pelatihan-pelatihan
 yang intensif dilengkapai dengan kegiatan-kegiatan studi-banding yang 
relavan akan memudahkan gerak kemajuan pertanian ekologis tersebut. 
Kelima,  belum
 adanya regulasi (terutama di Indonesia) dan badan sertifikasi yang 
terjamin kredibilitasnya, sehingga bisa melahirkan trust antara produsen
 dan konsumen, yang pada gilirannya akan menopang berkembangnya bisnis 
pertanian dan produk organik. 
Barangkali,
 regulasi yang harus dikeluarkan pemerintah juga harus mencakup adanya 
jaminan proses transaksi perdagangan yang ‘fair-trade’, yang saling 
memberikan keuntungan layak bagi petani kecil sebagai produsen, buruh, 
pelaku bisnis pendukung dan konsumen. Sehingga semua untung, semua 
mendapatkan bagiannya secara adil. Dengan demikian, produsen (terutama 
petani kecil/buruh) bisa mengenyam keuntungan yang sesungguhnya. Tidak 
hanya sekedar memberikan subsidi ‘derma’ kepada para pemodal besar yang 
menguasai distribusi dan pemasaran produk pertanian, seperti yang selalu
 terjadi hingga sekarang ini. Sehingga gagasan tinggi untuk menjadikan 
model pertanian organik sebagai salah satu cara tambahan untuk mengatasi
 kemiskinan petani kecil, bisa diwujudkan.  
Sedangkan
 perihal sertifikasi, sudah semestinya pemerintah juga memberikan 
subsidi dan dukungan sepenuhnya, sehingga ada kemudahan bagi petani 
kecil untuk mendapatkan sertifikasi untuk produk-produknya. Harapanya, 
selain prosenya mudah biaya administrasinya juga relatif terjangkau bagi
 produsen (petani) kecil, sehingga ada kemudahan sekaligus motivasi kuat
 dikalangan petani kecil untuk mengembangkan usahanya.
Mengulang
 kembali apa yang telah sedikit disinggung di awal tulisan ini, bahwa 
model pertanian organik sangatlah menarik dan bisa menjadi terobosan 
alternatif untuk mengurangi beberapa masalah yang dihadapi masyarakat 
luas dewasa ini. Keunggulan-keunggulan dan potensi besar yang dimiliki pertanian organik bisa dielaborasi lebih lanjut seperti berikut ini. 
Meningkatkan pendapatan petani kecil.
 Pertanian organik sangat potensial untuk mengatasi rendahnya pendapatan
 petani kecil, mengingat produk pertanian organik lebih diminati kelas 
menengah, yang nota bene memiliki daya beli untuk produk-produk dengan 
banderol premiun (seperti produk organik) dan punya 
kesadaran yang relatif tinggi dalam hal kesehatan dan isu lingkungan. 
Meskipun, peran tengkulak atau distributor seringkali menggagalkan 
potensi pendapatan petani kecil tersebut. Di sini, peran negara 
seharusnya bekerja untuk menjamin tegaknya transaksi ‘fair’ yang bisa 
memberikan harapan petani kecil untuk mengamankan nilai lebih hasil 
produksinya. 
Menyerap lebih banyak tenaga kerja.
 Layaknya pola pertanian tradisional, perlakuan khusus terhadap komoditi
 tanaman organik merupakan pekerjaan yang padat karya, sehingga sistem 
pertanian tersebut bisa menyerap lebih banyak ternaga kerja dibandingkan
 dengan pola konvensional. Karakteristik tersebut, tentu saja sangat 
sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia yang memiliki angka 
penganggurang sangat tinggi. 
Disamping
 itu, urgen-nya peningkatan kapasitas petani dan kelembagaannya, juga 
akan membuka peluang kerja bagi pengangguran terdidik dibidang 
lingkungan dan pertanian serta bidang relevan lain untuk mengaplikasikan
 ilmu pengetahuannya mendampingi dan mendidik petani kecil yang 
berkecimpung di sektor pertanian organik tersebut. 
Mengurangi pencemaran lingkungan.
 Selama ini sistem pertanian yang konvensional, yang modern dan bukan 
yang ekologis, sejak era 60-an ketika revolusi hijau mulai diperkenalkan
 telah terbukti mampu mendongkrak hasil panen petani. Namun demikian, 
sistem yang ditopang dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang populer 
dengan istilah ‘Panca Usaha Tani’ tersebut, terbukti telah memberikan 
dampak buruk terhadap lingkungan dan keberlanjutan usaha pertanian itu 
sendiri. 
Sistem
 Panca Usaha Tani, menekankan pada cara pengolahan tanah yang intensif, 
penyemaian bibit yang unggul, aplikasi pupuk sintetis (bukan organik), 
sistem irigasi yang maksimal, serta pengendalian hama tanaman secara 
serentak atau menyeluruh dengan pestisida sintetis (kimiawi), sehingga 
terjadi exploitasi tanah dan air yang berlebihan, juga pencemaran tanah 
dan air yang tidak hanya berbahaya bagi kehidupan biota sekitarnya 
(ekosistim setempat), tapi juga mengancam kesehatan jangka panjang 
manusia. Karena pestisida dan pupuk kimiawi terbukti meninggalkan residu
 di dalam produk pertanian yang dihasilkan. Dan, bisa tertimbun dalam 
tubuh siapapun yang mengkonsumsi produk tersebut. 
Turut berperan dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
 Seperti kita tahu bahwa kesehatan manusia berkaitan erat dengan apa 
yang mereka makan dan bagaimana kualitas lingkungan mereka. Dengan 
adanya bahan pangan organik, asumsinya apa yang dikonsumsi masyarakat 
akan menjadi lebih sehat. Paling tidak, sumber pangan mereka tidak lagi 
mengandung residu bahan-bahan kimia, baik dari pupuk, herbisida, 
fungisida, dan pestisida kimiawi, yang menurut para ahli kesehatan 
sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Lebih
 jauh lagi, aplikasi pestisida pada lahan pertanian juga terbukti telah 
turut mencemari perairan, tanah, dan udara yang dekat dengan lahan 
pertanian. Tanah, air, dan udara yang tercemar tentu saja akan mengancam
 tidak hanya manusia tapi juga lingkungan serta biota yang 
melengkapinya. Sedangkan manusia juga bagian dari ujung tertinggi rantai
 makanan, bisa dipastikan manusia akan menjadi pengepul terakhir polutan
 yang ada di lingkungannya. Bisa kita bayangkan akumulasinya. 
Turut mengurangi produksi emisi gas rumah kaca (GRK).
 Dikaitan dengan isu dunia, global warming, sistem pertanian organik 
bisa menjadi salah satu upaya untuk mengurangi produksi GRK. Seperti 
yang terungkap dalam hasil beberapa riset bahwa aplikasi pupuk kimiawi 
juga punya kontribusi tidak sedikit bagi meningkatnya emisi GRK, yakni 
nitrogen dioksida, yang berasal dari hasil peruraian pupuk tanaman 
non-organik (Kompas, 1/10/2007). 
Pemetaan
 sederhana tentang potensi dan kendala sistem pertanian organik di atas,
 diharapkan bisa memberikan tambahan wacana bagi kita semua utuk 
menimbang-nimbang, desakan seperti apa yang layak kita bidikkan kepada 
pemerintah dan stakeholders lain, serta peran apa yang bisa kita ambil 
untuk mensikapi gagasan perihal pertanian organik tersebut.
Dengan
 kapasitanya, pemerintah perlu bergerak dan berupaya lebih lekas untuk 
menjamin berjalannya model pertanian organik dengan melibatkan seluruh 
stakeholders, termasuk petani sendiri, LSM, koperasi, jaringan pertanian
 organik, konsumen, sektor swasta, lembaga pemerintah dan organisasi 
lintas pemerintahan. Singkatnya, model pertanian orgnik seharusnya 
menjadi bagian integral kebijakan pemerintah dalam mewujudkan 
pembangunan daerah perdesaan dan pertanian nasional.
Selain
 itu pemerintah juga harus memberikan dukungan tambahan kepada para 
petani berupa pelatihan-pelatihan tentang pertanian organik dan tata 
kelolanya, serta studi banding ke tempat lain yang sudah berhasil, 
mengingat model pertanian organik sudah puluhan tahun tidak dipraktekan 
lagi oleh petani, selain sudah semakin berkembangnya temuan baru soal 
tehnologi pertanian organik yang sudah banyak diterapkan di belahan 
dunia lain. 

