Kamis, 08 Januari 2015

pertanian organik,potensi dan kendalanya


Pola pertanian organik semakin mendominasi wacana bidang pertanian dewasa ini. Praktek pertanian yang pada dasarnya tidak jauh beda dengan model pertanian tradisional warisan nenek moyang kita, namun sudah puluhan tahun banyak ditinggalkan petani karena kehadiran revolusi hijau, kini semakin populer, diakui potensinya, dan dianjurkan oleh banyak kalangan. Pengakuan dan anjuran tersebut didasari dengan beberapa pertimbangan, mulai dari aspek nilai tambah secara ekonomi, aspek kualitas bahan konsumsi untuk kesehatan jangka panjang tubuh manusia, aspek penyelamatan dan kelestarian lingkungan (environmentally friendly and farming sustainability), hingga aspek ideologis yang oleh banyak kalangan ingin diperjuangkan.
Keunggulan nilai tambah ekonomi tersebut, atau harga premiun yang menjanjikan petani, tentu saja bisa dikembangkan menjadi alternatif jalan untuk mendongkrak penghidupan petani kecil. Harapanya, peluang tersebut bisa menjadi cara tambahan untuk membantu mengetaskan petani kecil dari belenggu kemiskinan. Namun demikian, untuk mengajak atau mendorong mereka beralih ke pertanian cara organik, tidaklah semudah yang kita bayangkan. Ada beberapa kendala atau tantangan serius yang bisa kita ketengahkan dalam tulisan ini.
Pertama, adanya mitos bahwa pertanian organik sulit dilakukan, rumit juga syarat tehnologi baru, dan memerlukan banyak resources dalam pelaksanaannya. Seperti penuturan Sutarman, Kaur Perencanaan Desa Giritirto, Kec. Purwosari, Kab. Gunungkidul, yang pernah mencoba mengaplikasikan sistem pertanian organik lahan basah di persawahannya.
Kedua, diperlukannya masa transisi yang relatif lama (sekitar 2-3 tahun) yang harus dilewati para petani ketika mulai beralih ke aplikasi pola pertanian organik. Pada fase transisi ini petani biasanya akan mengalami kerugian (D. Geovannucci, 2007). Hasil pertaniannya cenderung menurun drastis dibandingkan dengan pola pertanian konvensional. Seperti juga pengakuan Pak Muryanto, kepala Dukuh Glagah, Desa Nglegi, Kec. Patuk Kab. Gunungkidul, yang sejauh ini telah menekuni pertanian organik, bahwa pada awalnya dia menderita kerugian, karena hasil panen sawahnya langsung ‘njeglek’ (merosot tajam-red) bila dibandingkan panen sebelumnya ketika masih menggunakan sistem konvensional. Beliau menjelaskan bahwa pada masa transisi tersebut, kesuburan tanah masih belum pulih, sebagai dampak dari penggunaan pupuk kimiawi yang telah berlangsung puluhan tahun.
Ketiga, adanya kendala pemasaran produk organik, karena produk organik masih berharga mahal (premium), sehingga memiliki segmen pasar khusus, dan jaringannya masih dikuasai oleh pelaku bisnis bermodal besar, sehingga para petani kecil merasa kesulitan untuk mendapatkan akses pasar yang luas. Ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan Pak Putut, seorang petani pemula yang sendang merintis pertanian organik untuk sayur-sayuran dan buah-buahan berusia pendek seperti lombok, tomat, timun, melon, dan semangka, yang mengelola lahan persawahan di leren Timur Gunung Lawu, Jawa Timur.
Belum lagi, produk-produk pertanian organik seringkali penampilan fisiknya juga tidak sebagus produk-produk non-organik. Tidak digunakannya pupuk dan pestisida kimiawi seringkali membuat tampilan tanaman organik terkesan kurang sehat atau tidak se-subur yang non-organik, dan juga rentan terhadap serangan hama, sehingga terkadang ‘wajahnya’ bopeng dan ada cacatnya. Nah, penampilan yang kalah ‘kinclong’ seperti itu juga sering menjadi kendala pemasaran produk pertanian organik.
Keempat, belum adanya dukungan yang lebih nyata dan meluas dari pemerintah. Terutama dalam bentuk kampanye yang massive dan terus-menerus perihal pertanian organik, mulai dari pentingnya beralih ke makanan organik bagi masyarakat hingga bagaimana cara mengelola pertanian dan industri produk pertanian organik. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan akses informasi tentang potensi dan peta pasar, fasilitasi untuk promosi dan pameran, serta fasilitasi lahirnya kelembagaan pelaku pertanian organik, dan pelatihan-pelatian yang intensif bagi masyarakat bawah (petani kecil).
Perihal kelembagaan, petani kita sebenarnya telah paham dan memiliki cukup banyak variasi organisasi yang berbasis pertanian yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun demikian, kapasitas mereka tetap perlu didongkrak dan dibangun kembali, dilengkapi dengan pengetahuan atau tehnologi baru, melalui bermacan training yang biayanya sepenuhnya ditanggung oleh anggaran pemerintah. Pelatihan-pelatihan yang intensif dilengkapai dengan kegiatan-kegiatan studi-banding yang relavan akan memudahkan gerak kemajuan pertanian ekologis tersebut.
Kelima, belum adanya regulasi (terutama di Indonesia) dan badan sertifikasi yang terjamin kredibilitasnya, sehingga bisa melahirkan trust antara produsen dan konsumen, yang pada gilirannya akan menopang berkembangnya bisnis pertanian dan produk organik.
Barangkali, regulasi yang harus dikeluarkan pemerintah juga harus mencakup adanya jaminan proses transaksi perdagangan yang ‘fair-trade’, yang saling memberikan keuntungan layak bagi petani kecil sebagai produsen, buruh, pelaku bisnis pendukung dan konsumen. Sehingga semua untung, semua mendapatkan bagiannya secara adil. Dengan demikian, produsen (terutama petani kecil/buruh) bisa mengenyam keuntungan yang sesungguhnya. Tidak hanya sekedar memberikan subsidi ‘derma’ kepada para pemodal besar yang menguasai distribusi dan pemasaran produk pertanian, seperti yang selalu terjadi hingga sekarang ini. Sehingga gagasan tinggi untuk menjadikan model pertanian organik sebagai salah satu cara tambahan untuk mengatasi kemiskinan petani kecil, bisa diwujudkan.
Sedangkan perihal sertifikasi, sudah semestinya pemerintah juga memberikan subsidi dan dukungan sepenuhnya, sehingga ada kemudahan bagi petani kecil untuk mendapatkan sertifikasi untuk produk-produknya. Harapanya, selain prosenya mudah biaya administrasinya juga relatif terjangkau bagi produsen (petani) kecil, sehingga ada kemudahan sekaligus motivasi kuat dikalangan petani kecil untuk mengembangkan usahanya.

Mengulang kembali apa yang telah sedikit disinggung di awal tulisan ini, bahwa model pertanian organik sangatlah menarik dan bisa menjadi terobosan alternatif untuk mengurangi beberapa masalah yang dihadapi masyarakat luas dewasa ini. Keunggulan-keunggulan dan potensi besar yang dimiliki pertanian organik bisa dielaborasi lebih lanjut seperti berikut ini.
Meningkatkan pendapatan petani kecil. Pertanian organik sangat potensial untuk mengatasi rendahnya pendapatan petani kecil, mengingat produk pertanian organik lebih diminati kelas menengah, yang nota bene memiliki daya beli untuk produk-produk dengan banderol premiun (seperti produk organik) dan punya kesadaran yang relatif tinggi dalam hal kesehatan dan isu lingkungan. Meskipun, peran tengkulak atau distributor seringkali menggagalkan potensi pendapatan petani kecil tersebut. Di sini, peran negara seharusnya bekerja untuk menjamin tegaknya transaksi ‘fair’ yang bisa memberikan harapan petani kecil untuk mengamankan nilai lebih hasil produksinya.
Menyerap lebih banyak tenaga kerja. Layaknya pola pertanian tradisional, perlakuan khusus terhadap komoditi tanaman organik merupakan pekerjaan yang padat karya, sehingga sistem pertanian tersebut bisa menyerap lebih banyak ternaga kerja dibandingkan dengan pola konvensional. Karakteristik tersebut, tentu saja sangat sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia yang memiliki angka penganggurang sangat tinggi.
Disamping itu, urgen-nya peningkatan kapasitas petani dan kelembagaannya, juga akan membuka peluang kerja bagi pengangguran terdidik dibidang lingkungan dan pertanian serta bidang relevan lain untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuannya mendampingi dan mendidik petani kecil yang berkecimpung di sektor pertanian organik tersebut.
Mengurangi pencemaran lingkungan. Selama ini sistem pertanian yang konvensional, yang modern dan bukan yang ekologis, sejak era 60-an ketika revolusi hijau mulai diperkenalkan telah terbukti mampu mendongkrak hasil panen petani. Namun demikian, sistem yang ditopang dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang populer dengan istilah ‘Panca Usaha Tani’ tersebut, terbukti telah memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan keberlanjutan usaha pertanian itu sendiri.
Sistem Panca Usaha Tani, menekankan pada cara pengolahan tanah yang intensif, penyemaian bibit yang unggul, aplikasi pupuk sintetis (bukan organik), sistem irigasi yang maksimal, serta pengendalian hama tanaman secara serentak atau menyeluruh dengan pestisida sintetis (kimiawi), sehingga terjadi exploitasi tanah dan air yang berlebihan, juga pencemaran tanah dan air yang tidak hanya berbahaya bagi kehidupan biota sekitarnya (ekosistim setempat), tapi juga mengancam kesehatan jangka panjang manusia. Karena pestisida dan pupuk kimiawi terbukti meninggalkan residu di dalam produk pertanian yang dihasilkan. Dan, bisa tertimbun dalam tubuh siapapun yang mengkonsumsi produk tersebut.
Turut berperan dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Seperti kita tahu bahwa kesehatan manusia berkaitan erat dengan apa yang mereka makan dan bagaimana kualitas lingkungan mereka. Dengan adanya bahan pangan organik, asumsinya apa yang dikonsumsi masyarakat akan menjadi lebih sehat. Paling tidak, sumber pangan mereka tidak lagi mengandung residu bahan-bahan kimia, baik dari pupuk, herbisida, fungisida, dan pestisida kimiawi, yang menurut para ahli kesehatan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Lebih jauh lagi, aplikasi pestisida pada lahan pertanian juga terbukti telah turut mencemari perairan, tanah, dan udara yang dekat dengan lahan pertanian. Tanah, air, dan udara yang tercemar tentu saja akan mengancam tidak hanya manusia tapi juga lingkungan serta biota yang melengkapinya. Sedangkan manusia juga bagian dari ujung tertinggi rantai makanan, bisa dipastikan manusia akan menjadi pengepul terakhir polutan yang ada di lingkungannya. Bisa kita bayangkan akumulasinya.
Turut mengurangi produksi emisi gas rumah kaca (GRK). Dikaitan dengan isu dunia, global warming, sistem pertanian organik bisa menjadi salah satu upaya untuk mengurangi produksi GRK. Seperti yang terungkap dalam hasil beberapa riset bahwa aplikasi pupuk kimiawi juga punya kontribusi tidak sedikit bagi meningkatnya emisi GRK, yakni nitrogen dioksida, yang berasal dari hasil peruraian pupuk tanaman non-organik (Kompas, 1/10/2007). 

Pemetaan sederhana tentang potensi dan kendala sistem pertanian organik di atas, diharapkan bisa memberikan tambahan wacana bagi kita semua utuk menimbang-nimbang, desakan seperti apa yang layak kita bidikkan kepada pemerintah dan stakeholders lain, serta peran apa yang bisa kita ambil untuk mensikapi gagasan perihal pertanian organik tersebut.
Dengan kapasitanya, pemerintah perlu bergerak dan berupaya lebih lekas untuk menjamin berjalannya model pertanian organik dengan melibatkan seluruh stakeholders, termasuk petani sendiri, LSM, koperasi, jaringan pertanian organik, konsumen, sektor swasta, lembaga pemerintah dan organisasi lintas pemerintahan. Singkatnya, model pertanian orgnik seharusnya menjadi bagian integral kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan daerah perdesaan dan pertanian nasional.
Selain itu pemerintah juga harus memberikan dukungan tambahan kepada para petani berupa pelatihan-pelatihan tentang pertanian organik dan tata kelolanya, serta studi banding ke tempat lain yang sudah berhasil, mengingat model pertanian organik sudah puluhan tahun tidak dipraktekan lagi oleh petani, selain sudah semakin berkembangnya temuan baru soal tehnologi pertanian organik yang sudah banyak diterapkan di belahan dunia lain. 


Pengembangan pestisida organik dari tanaman obat & mikroorganisme

Pestisida organik merupakan hal penting yang perlu dikembangkan sebagai penunjang pesatnya pertanian organik disamping pupuk organik.  Tanpa pengembangan pestisida organik secara industri maka pengembangan pertanian organik secara besar-besaran tentu juga akan sulit. Potensi tanaman obat-obatan di Indonesia sangat memungkinkan menjadi bahan baku pestisida organik, namun teknologi pembuatan pestisida organik yang ada masih terbatas. Pestisida organik yang berkembang hanya bisa bertahan bagus dalam waktu sangat pendek, sehingga sulit jika akan dipasarkan secara luas.  Kelemahan ini yang menjadikan kendala pembuatan pestisida organik belum bisa berkembang pesat secara industri.
Mikroorganisme merupakan teknologi yang bisa menjadi salah satu solusi dari permasalahan tersebut, karena mikroorganisme ada yang bisa berfungsi sebagai pengawet, penambah energi maupun antibiotik alami.  Industri mikroorganisme di luar negeri sudah mulai berkembang dan digunakan untuk berbagai bidang, diantaranya pertanian dalam arti luas (tanaman, ternak & perikanan), bidang Lingkungan juga sudah berkembang.  Berbagai produk sudah banyak dikembangkan namun dari segi ilmiah masih lemah penelitian dan pengembangannya.  Ini membuat perkembangan industri mikroorganisme di dalam negeri ini sangat lambat.
            Bukti bahwa kekayaan mikroorganisme di Indonesia ini unggul adalah kenyataan yang terpancar dari kekayaan sumber alam Indonesia dari dalam bumi. Mulai kekayaan aneka tumbuhan, hewan dan tambang, yang semua itu tidak lepas dari keterkaitannya dengan tanah.  Tanah merupakan tempat berkembang biak mikroorganisme secara alami dan di dalam tanah terdapat berjenis jenis mikroorganisme yang bisa menyuburkan tanaman, menyediakan makanan bagi ikan bahkan bagi manusia. Dari aktivitas mikroorganisme kita mendapatkan berbagai keaneka ragaman hayati.
            Untuk itu sudah seharusnyalah dunia mikroorganisme Indonesia ini mulai dikembangkan secara industri agar bisa turut membantu perkembangan pertanian organik di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.  
Teknologi yang ramah lingkungan, berdasarkan pada prinsip prinsip alami namun juga menggunakan manajemen industri ini merupakan salah satu solusi yang akan ditawarkan dalam Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID) yang bertujuan untuk mengembangkan pestisida organik dari tanaman obat & mikrooganisme skala industri.